KOMUNIKASI KRISIS POLRI DALAM KASUS SAMBO:

UPAYA MEMBANGUN ULANG KEPERCAYAAN PUBLIK

Oleh: Karya Bima Satria Yuwono

Pada tahun 2022 perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada suatu institusi utama, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal tersebut disebabkan karena adanya suatu peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu perwira polisi yang melakukan pembunuhan kepada ajudannya. Ya, perwira tersebut adalah Ferdy Sambo. Seorang polisi yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Dimana divisi tersebut yang menindak atau memeriksa para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran etik dalam melakukan tanggung jawab sebagai polisi.

Dengan adanya peristiwa tersebut kepercayaan masyarakat pada institusi Polri sangat menurun drastis. Kepercayaan masyarakat turun disebabkan karena, selain aspek kriminal yang dilakukan oleh seorang polisi (dimana polisi yang bertanggung jawab sebagai pelindung masyarkat dari tindakan kriminal), terdapat unsur manipulasi, rekayasa TKP, dan tekanan internal dari Polri sendiri. Sehingga sangat wajar apabila terdapat krisis kepercayaan publik dan menjadi tantangan atau upaya yang sangat rumit bagi Polri untuk mendapatkan kepercayaan itu kembali.

Peristiwa ini dimulai pada awal bulan Juli 2022 dimana korban Brigadir Joshua, ditemukan tewas di rumah dinas Ferdy Sambo. Pernyataan awal kepolisian menyatakan adanya baku tembak antar anggota Polri. Namun pada pertengahan bulan Juli 2022, publik atau media menemukan berbagai kejanggalan. Hal inilah yang menyebabkan kepercayaan masyarakat mulai turun drastis. LSI saat itu juga menyatakan bahwa kasus inilah salah satu faktor besar turunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri sebagai penegak hukum.

Ketika narasi “rekayasa kasus” sebagaimana diuraikan di paragraf kedua muncul, Polri menghadapi krisis legitimasi. Situasi ini menggambarkan apa yang disebut pakar komunikasi krisis W. Timothy Coombs sebagai reputational threat. Artinya ancaman terhadap kredibilitas organisasi akibat persepsi publik yang negatif. Coombs mengatakan, “dalam situasi krisis, organisasi (dalam hal ini Polri) harus bertindak cepat, jelas, dan konsisten. Transparansi bukan pilihan, tapi suatu keharusan agar kerusakan reputasi tidak semakin meluas”.

Kerangka Situational Crisis Communication Theory (SCCT)

Apabila dianalisis melalui pendekatan SCCT, ada 3 (tiga) tahap respons yang seharusnya dilakuukan organisasi ketika menghadapi krisis: Respons Awal, Penenangan Publik, dan Tindakan Korektif. Dalam kasus Sambo, Polri mengadopsi ketiga hal tersebut, meskipun terdapat hambatan – hambatan.

1. Respons Awal: Membangun Narasi Baru’

Ketika tekanan publik memuncak, Kapolri melakukan segala upaya dengan membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus. Upaya ini berfungi sebagai mencegah persepsi adanya konflik kepentungan. Beliau dalam konferensi pers juga menyatakan “Kami akan membuka kasus ini seterang – terangnya, dan tidak ada yang ditutup-tutupi lagii”. Meskipun konon katanya, hubungan Ferdy Sambo dengan Kapolri cukup baik. Pernyataan Kapolri tersebut, merupakan langkah penting dalam komunikasi krisis.

2. Penenangan Publik: Menyampaikan Informasi Secara Konsisten

Polri melakukan konferensi pers secara berulang, memberikan update data, dan memberikan kesempatan bagi media untuk mengajukan pertanyaan – pertanyaan sebebas – bebasnya. Strategi ini menunjukkan bahwa Polri sangat terbuka bagi masyarakat.

3. Tindakan Korektif

Point utama komunikasi krisis adalah konsistensi antara lisan dan tindakan. Dalam kasus Sambo, tindakan korektif ini dibuktikan dengan:

a. Penetepan Ferdy Sambo sebagai tersangka

b. Pemecatan dengan tidak hormat kepada Ferdy Sambo melalui sidang etik

c. Penayangan sidang secara penuh di media.

Kasus Sambo memberikan pengalaman penting tentang hubungan antara hukum, komunikasi dan legitimas. Pada era digital, institusi penegak hukum tidak hanya diuji oleh prosedur formal, tetapi juga oleh kemampuan mengelola persepsi publik yang bergerak cepat. Komunikasi krisis menjadi suatu strategi yang menentukan apakah suatu institusi atau organisasi tetap dipercaya atau sebaliknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *